Pages

Monday, March 7, 2011

oh sensitivity, where art thou?

Disclaimer: Maaf kalau ada pihak yang merasa disinggung di sini. Penulis tidak menyebut nama-nama dari pihak yang bersangkutan. Tolong diingatkan kalau ada yang menyinggung disini dan saya dengan senang hati akan mengubah bagian itu. Trims.

Masih terkait puisi yang baru saya tulis, yang saya dedikasikan kepada teman saya yang sampai sekarang mungkin masih marah.

Orang sensitif itu persis bola besi di atas papan jungkat jungkit jatuh kalau dimiringkan sedikit, atau tertiup angin, langsung jatuh. Begitu juga dengan orang sensitif yang hal-hal kecil bisa menyinggung.

Saya penasaran deh sama sifat manusia. Mereka sungguh susah dibaca. Kadang saya merasa diri saya begitu kontradiksi sama mereka. Apa sayanya yang aneh? Apakah saya yang terlalu ngecap manusia itu sama semua? Atau kata lainnya, stereotype? Apa sayanya yang tidak punya sifat yang lazim dimiliki manusia secara umum? Apa saya punya gen robot?

Jadi begini, akhir-akhir ini saya merefleksi diri, setelah mendengar ucapan mama saya yang saya anggap sebagai lelucon. “Kamu kok cuek banget sih? Kamu kok ga sensitif? Kamu kok ga gampang nangis sih? Ga kaya orang lain?” Mulanya saya hanya balas dengan tawa. Tapi kemudian setelah sesi pendek di Skype itu selesai, saya terdiam sebentar dan berpikir. Benar juga ya. Faktanya adalah bahwa saya memang tidak gampang nangis, di situasi orang-orang biasanya nangis (kecuali pemakaman). Di sesi refleksi diri saat retret saya, saya harus pura-pura nangis supaya ga dikira aneh.

Padahal perkataan yang diucapkan kakak pembimbing itu sedih. Lha wong semua teman-teman saya aja nangis. Tapi bagi saya kurang menyentuh perasaan. Kalau ditanya film Titanic sedih atau tidak, saya bilang tidak. Bagus sih iya, tapi sedih menurut saya biasa saja. Lalu saya dengar kasus teman-teman saya atau saudara saya, kalau mereka dimarahi orang tua, tendensinya adalah nangis. Kembali ke percakapan mama saya. “Kamu kok kalau mama marahin ga nangis sih? Ga kaya saudara kamu? Ga kaya orang lain? Mama heran deh.” Mungkin kata-kata itu bisa diterjemahkan sebagai “Kamu aneh ya. Kamu itu robot apa?”

Memang biasanya kalau mama atau papa saya marahin, saya ga membangkang, tapi hanya mengeluh dan mengeluh. Malah kadang marah balik, bukannya ngunci diri di kamar atau nangis seharian. Simply saya mengunci mulut. Kadang kata yang keluar adalah “Jadi mama mau aku nangis? Yaudah nih aku nangis sekarang. Biar aku kaya orang lain. Biar mama seneng. Biar mama mikir aku bukan robot.”

Kalau soal marah, saya juga bukan jagonya. Saya ini mungkin turunan papa, yang kalau marah ga bilang-bilang. Yang kalau marah ga ngadain aksi mogok bicara serumah. Yang kalau marah ga mencak-mencak. Yang kalau marah...well, bisa jadi dendam seumur hidup. Saya sudah biasa dicap sebagai anak yang ga gampang marah, alias, saya itu ga sensitif. Ya, sensitif. Dari tadi ini yang mau saya bahas. Biasanya kalau orang sensitif, disinggung sedikit bakal langsung mengalami mood swing. Boro-boro disinggung sedikit, kadang walaupun ga disinggung sama sekali, si orang sensitif bisa tetap tersinggung.

Pernah suatu hari saya sedang capek pulang kampus. Saat saya pulang saya tidak menyapa roommate saya. Yang saya lakukan adalah langsung masuk kamar dan tidur siang. Saat saya bangun, saya melihat papan tulis kecil di kulkas tertulis “Maaf ya...” Roommate saya masih terdiam. Saya bilang “Lo kenapa tiba-tiba minta maaf?” Ternyata roommate saya kira saya marah, karena saya sempat diam tadi.

Saya mau point out kalau saya ga bermaksud ngejudge orang yang maksud itu sensitif apa ngga ya. Sensitif itu baik, perlu, dan malah harus perlu lho. Sensitif itu alami. Malah ada yang bilang cowok suka cewek sensitif (nah lho, itukah alasan kenapa saya single?). Rasa sensitif itu benci saya. Jadi aman buat bilang kalau post ini yah...ngejelek-jelekin saya, mungkin?

Ada satu cerita lagi saat saya SMA. Jadi pas ekskul, angkatan saya, angkatan paling atas, lagi marah besar sama angkatan bawah, angkatan tengah-tengah. Gara-garanya tanpa sepengetahuan angkatan atas, angkatan tengah ini ngelabrak angkatan paling bawah tanpa sebab yang jelas. Kebetulan ada salah satu anak angkatan bawah ini ada yang ngadu ke saya. Teman-teman saya yang angkatan atas langsung tahu, dan mereka langsung mengambil sikap frontal, yaitu dengan ngelabrak langsung angkatan tengah di depan angkatan bawah. Jadi intinya, angkatan atas itu kayak berada di pihak angkatan bawah.

Padahal saya sebagai ketua ekskul, sudah berusaha mungkin bersikap netral dan ga biased. Teman-teman saya sudah menyerang angkatan tengah dengan kata-kata pedas, malah sudah main gebrak meja. Saya cuma diam saya di tengah chaos itu. Teman saya lalu bilang “Cha, lo kan ketua. Marah dong!”

Tapi yang saya lakukan adalah keluar dari ruangan itu dan pergi. Lalu saya bilang ke mereka kalau marah-marah itu ga bakal menyelesaikan masalah. Marah-marah sekedar pelemparan rasa emosi, Will you feel better? Yes, of course. But will you solve the problem? Definitely no. Tapi teman-teman saya yang sudah keburu dilahap emosi mungkin saat itu masih belum mengerti.

Alhasil di lain hari, saya memanggil ketua ekskul dari angkatan tengah (penerus saya), yang mempelopori ide ngelabrak angkatan bawah. Saya minta waktu sebentar dengan dia buat “ngobrol”. Barulah saya bilang ke dia kalau saya kecewa sama dia. Saya menceramahi dia bagaimana angkatan ekskul dari tahun ke tahun ga pernah menerapkan labrak-labrakan di ekskul. Dan sekarang penerus saya ini rupanya mau merubah prinsip ekskul. Saya melontarkan kata-kata pedas yang menyangkut-nyangkut bahwa dari awal mestinya saya tidak memilih menjadi penerus saya. Saya menyesal memilihnya jadi ketua kalau ujungnya dia jadi begini, seperti backstabber. Saya jadi ga percaya sama dia. Kunci dari perkataan saya adalah “Saya kecewa.” titik. Saya bilang ini tanpa senyum. Saya langsung tinggal penerus saya ini. Biar dia mikir dulu kata-kata saya dulu. Moga-moga cukup nancap *jleb* sedalam-dalamnya.

Ga lama kemudian, penerus saya meminta maaf kepada angkatan bawah dan juga kepada angkatan saya. Bukannya bermaksud menyombong, tapi saat itu saya sadar betapa ga pentingnya marah-marah. Toh ga bakal menyelesaikan masalah. Toh yang ada juga anak angkatan tengah menyerang balik dengan kata-kata pedas, tersinggung, dan berusaha defend themselves. Serentetan kata serius yang ga memerlukan adrenalin, cukup buat menyadarkan seseorang.

Kalau saya marah, saya mudah lupa. Malah kalau ada orang yang merasa dirinya bersalah kepada saya dan datang untuk meminta maaf, jawabannya adalah, “Minta maaf kenapa? Oh itu, yaudalah. Lupain. Gw ga kenapa-kenapa kok.” Kalau kesalahan orang itu lumayan parah, paling saya tinggal tambahin “Lain kali jangan gitu lagi lho ya.” Kalau ada orang berbuat salah sama saya, saya ga suka marahi balik apalagi musuhan karena dari dulu saya paling ga bisa menyakiti perasaan orang. Trust me. I've felt it. Everybody does feel being hurt.

Seperti kata teman-teman saya, saya punya hak untuk marah. Marah itu perlu. Walaupun definisi marah saya bukan dengan emosi. Marah saya itu bukan mogok ngomong, karena itu sama saya menyiksa diri sendiri karena perasaan amarah itu tersimpan terus di dalam. Marah saya itu adalah menenangkan diri sejenak karena saya yakin adrenalin rush itu bisa bikin orang kelihatan tua lama kelamaan. Marah saya itu diam sebentar dan berpikir. Saya mencoba berpikir dari sudut pandang orang yang saya marahi. Saya berusaha untuk tidak berpikir subjektif dari sudut pandang saya. Saya berusaha memahami apa yang berusaha disampaikan oleh orang saya marahi. Mungkin ujung-ujungnya bisa jadi salah paham belaka.

Percaya, saya dulu pernah mengalami marah mogok ngomong pasalnya gara-gara rebutan alat tulis oleh teman. Saya disini yang jadi korban dan memutuskan untuk mogok ngomong sama teman saya itu. Tapi saya merasa rugi. Dari pihak saya, saya merasa tersiksa terus menerus. Saya mengikuti pikiran saya untuk membenci dan membenci teman saya itu, semua karena alat tulis sepele. Saya juga tidak merasa nyaman diam-diaman. Pokoknya itu menyiksa, dan kalau dilanjutkan, saya yakin tidak akan jalan keluar. Mungkin karena itulah, saya jadi mengganti definisi marah saya.

Ada satu cerita lagi. Saya sebelum ke Amerika kalau marah suka banget marah-marah dengan fisik. Saya kalau marah dulu otomatis membanting benda yang ada di pegangan. Misalnya saya marah sama teman, saya bisa lempar pena di genggaman saya. Saya benar-benar marah kaya cowok. Pernah suatu kali saya marah ke orang tua saya dan saya tiba-tiba jadi agresif. Masalahnya sepele, saya ga boleh main internet oleh mama. Koneksi internet di rumah dicabut for my own good, tapi saya ga ngerti aja. Alhasil, buku-buku saya lempar sebagai pelampiasan. Saya banting boneka sampai hidungnya patah. Mbak pembantu saya marahi. Karena waktu itu saya lagi kesal karena masalah yang berhubungan sama internet, kabel telepon/internet saya tarik dengan paksa sampai putus, dan yang paling tragis, saya membanting HP yang waktu itu belum Blackberry. Layar HP langsung retak.

Papa saya masuk kamar dan melihat situasi, ditambah melihat layar HP saya retak. Langsunglah saya dimarah-marahi. Orang marah malah balik dimarah-marahi. Kata Papa saya, saya kalau marah ga boleh kaya cowok. Secara etika itu ga baik, karena cewek lazimnya marah-marah seperti...well, cewek. Nangis di kamar, mengunci diri. Kata Papa saya, sikap marah-marah saya itu destruktif, dalam arti saya suka melempar barang, membanting, memecahkan.

Dari segi positif, I feel better. Emosi saya meledak. Tapi after efeknya, hidung boneka Hush Puppies saya patah. Papa saya makin marah begitu tahu layar HP retak karena untuk mengganti diperlukan biaya 2 juta. Kabel telepon yang saya tarik dengan paksa juga harus diperbaiki. Saya ga sadar efeknya separah itu. "Kamu marah-marah kok destruktif? Ga baik Cha. Ga baik. Marah boleh, tapi bukan begitu caranya. Apalagi kamu itu cewek." Saya masih ingat banget kata-kata Papa. Sejak saat itu saya mengubah pola marah saya. Saya ga mau efek marah saya bikin saya kelihatan makin tua atau murung. Lagipula lemparan saya brutal. Untung belum memakan korban. Sudah cukup uang melayang gara-gara lemparan sadis saya.

Saya tahu rasanya disakiti walaupun saya ga sensitif. Makanya kalau ada orang yang minta maaf sama saya, saya langsung memaafkan. Saya kalau habis disakiti ga bakal melampiaskan ke orang lain. Karena saya tahu kalau saya melampiaskan ke orang lain, saya akan rugi dan orang lain akan rugi. Pokoknya kuncinya asal orang itu sadar akan kesalahannya, saya ga bakal dendam. Biasanya saya kalau marah, seperti sekarang (nanti saya jelaskan kenapa alasannya), saya pelariannya biasanya menulis puisi. That way I'll feel better.

Mungkin ketidaksensitifan saya ini membuat efek pada bagaimana saya memperlakukan orang-orang di sekitar saya setiap hari. Saya yang biasanya disinggung, berusaha untuk bertindak seolah singgungan itu lelucon, sebodoh apapun itu. Saya kalau disinggung, biasanya menyinggung balik supaya adil, tentunya dengan singgungan yang setara. Saya kalau disinggung biasanya menertawakan diri sendiri, supaya menyenangkan hati orang yang menyinggung.

Sampai sekarang saya ga paham kenapa orang-orang mudah tersinggung bila ditanya tentang berat (kalau gaji saya belum tahu ya. Saya belum kerja). Saya fine-fine saja kalau ditanya berat. Berat bukanlah sesuatu yang personally matters banget bagi saya. Saya malah jauh lebih tersinggung kalau ditanya ranking atau nilai. Menurut saya pertanyaan itu mengintimidasi sekali ya. Orang yang bertanya itu pasti berpikir hanya ada dua tipe manusia di dunia ini: pintar dan bodoh.

Hal lain cukup aneh, apalagi kalau dilihat dari sudut pandang cewek. Saya masih ga tau kenapa di kehidupan sehari-hari ini, cewek tersinggung kalau melihat orang lain memakai baju, kaos, jaket, sepatu, asesoris yang serupa. Maksud saya, toh baju-baju itu ga didesain khusus buat kamu. Kamu ga order baju custom made langsung dari Marc Jacobs atau Christian Dior, kecuali kamu mau ikut ajang seperti Oscar, where fashion really matters the most. Pernah saya waktu SMA, teman saya ngedumel karena ia melihat orang lain memakai tas yang sama pas jalan-jalan di mall. Tapi sekarang disini, saya melihat banyak banget orang memakai syal yang sama dengan saya dan saya ga pernah komplain. Pikir saya, model seperti itu pasti umumlah. Lagipula memangnya syal itu didesain khusus untuk saya?

Balik lagi ke topik tentang rasa sensitif. Rupanya ga semua orang memperlakukan singgungan itu dengan sama. Kadang kalau kita disinggung, yang perlu kita lakukan adalah diam dan tidak membalasnya. Walaupun singgungan yang mau kita balas ini levelnya setara dengan singgungan orang itu. Mungkin orang itu hanya mau menyinggung, tak mau disinggung. Hanya ingin menyerang, tak mau diserang.

Kalau kita menyerang balik, walau sekali dan tidak separah serangannya, orang itu akan jatuh dan menangis. Orang itu akan sangaaat tersinggung, lebih dari kita merasa tersinggung. Kalau ada orang yang menggoda saya, contohnya, misalnya menjodohkan saya dengan orang lain atau men-cie-kan saya, saya biasanya akan merengek "Aaah jangan begitu aaaahh." Atau "Kurang asem, gw ga suka sama dia tahu." Tapi suatu hari teman saya bilang kalau saya paling enak digodain, karena kalau orang lain diperlakukan yang sama, orang itu belum tentu mau menerima. Orang itu disebut-sebut akan dengan mudah tersinggung. Jadi sebenarnya yang saya lakukan itu benar ga sih? Benar ga sih saya menanggapi godaan dan 'cie'-an itu balik dengan candaan? Karena saya tidak pernah mau menanggapi dengan serius?

Contoh lainnya adalah, waktu saya SD, saya ikut jemputan bareng sepupu saya. Kita main ngata-ngatain. Sepupu saya bilang ke saya “Rumah kamu jauh tuh!” (mungkin sekarang bagi saya kata-kata itu ga ada nyinggung-nyinggungnya). Saya balas saja “Rumah kamu juga jauh.” Dan langsung sepupu saya terdiam, menangis, dan mengadakan aksi mogok bicara sama saya selama sebulan. Waktu itu saya mikir, memangnya saya bilang apa? Saya hanya membalas perkataan dia kan? Ga lebih dari itu?

Ini sungguh kontradiktif banget lho sama kejadian di masa lalu. Saya dulu jaman-jaman SMA sering banget merasa bersalah. Saya dikit-dikit minta maaf. Tapi teman saya malah bilang supaya saya jangan gampang merasa bersalah, soalnya dengan begitu saya bakal mudah diserang dan jadi bulan-bulanan. Teman saya bilang saya harus meninggikan harga diri saya. Jangan sedikit-sedikit minta maaf, kesannya saya lemah sekali. Kalau ada kejadian apa-apa, saya bakal yang paling gampang dituduh (ini ga terjadi, saya hanya bilang ini menurut teman saya yang bilang "just in case..."). Mungkin waktu itu saya menelan kata-kata teman saya bulat-bulat tanpa memikirkan dampaknya. Ya, dampaknya, saya sekarang jadi manusia yang sangat amat ga sensitif. Mungkin ini pengaruh karena saya terlalu menjaga harga diri saya.

Kadang orang sensitif hanya mau menyerang dan tidak mau diserang. Teman saya pernah bilang kalau orang sensitif itu hidupnya terbebani dengan rasa sakit hati. Disinggung sedikit langsung sakit hati. Karena itukah saya merasa hidup saya kayanya biasa-biasa saja? Semua lelucon, perkataan, yang ditujukan bagi saya hanya lewat kayak angin lalu? Saya jarang merasa sakit hati, saya jarang merasa tersinggung. Well, kalau boleh bilang, saya merasa sensitif dalam hal-hal yang ga umum malah, hal-hal yang biasanya orang ga nangis tapi saya bisa nangis.

Saya nangis kalau nonton orchestra. Tau ga apa yang membuat saya bisa nangis kalau nonton orchestra? Saya suka berangan-angan andai saya duduk di salah satu kursi di panggung itu, atau jadi concert master. Saya memimpin tuning sebelum konser dimulai. Papa mama saya yang dari dulu pengen saya masuk orchestra pasti bakal terharu. Itu yang saya pikirin. Saya nangis juga kalau nonton resital piano. Dalam hati, saya berpikir coba kalau saya dulu nerusin piano, coba kalau saya ga nurutin metode “play by ear” saya dan mulai membaca not, saya mungkin bisa tampil solo di panggung. Saya mungkin bakal dibayar kalau konser, bukan meminta bayaran seolah saya musisi profesional. Saya bisa menghasilkan duit dari hobi dan bakat.

Saya nangis/bakal nangis kalau lihat teman saya masuk TV karena prestasinya, kayak kuis pendidikan atau berita tentang teman saya yang baru pulang dari luar negeri setelah memenangkan olimpiade. Saya bakal nangis kalau lihat teman saya atau orang yang saya kenal ada yang jadi artis dan terkenal. Cheesy memang. Dalam hati, saya bakal mikir coba kalau saya jadi dia. Orang tua saya pasti bangga. Orang tua saya memang pengen saya sukses dari usia muda. Ga usah jadi artis. Jadi kalau ada prestasi kecil seperti lukisan saya masuk pameran atau saya diliput koran saja, mereka langsung menggembar gemborin ke rekan-rekan mereka. Bahkan papa saya langsung merobek dan membingkai halaman koran yang meliput saya. Gimana kalau saya masuk TV ya? Mungkin mereka bakal langsung mengadakan tumpengan 7 hari 7 malam.

Saya menangis kalau menonton film seperti The Last Emperor dan Bicentennial Man. Film yang ga bisa dihubungkan dengan kehidupan pribadi saya, memang. Tetapi ada alasan tertentu kenapa saya menangis di penghujung film. Ada makna tersirat yang tidak bisa saya tuliskan. Tema kedua film itu adalah perubahan dan menurut saya, tema itu begitu moving dan menyentuh. Bagi saya film tragedi romantis seperti Titanic itu sedih memang, tapi tidak sampai menangis seperti menonton kedua film yang saya sebutkan. Kalau mendengarkan lagu yang tidak kedengarannya tidak sedih tapi liriknya bisa dihubungkan ke kejadian di hidup saya, saya juga bisa nangis.

Sebelum pindah ke Amerika, saya sempat nangis mendengar lagu “Party in the USA”-nya Miley Cyrus. Padahal lagu itu kedengarannya happy-py happy-yay aja. Saya memang sensitif dalam beberapa hal yang malah bagi orang-orang itu sama sekali ga ada sedih-sedihnya. Dan tentu saya sensitif kalau keluarga, teman, gender, ras, atau agama saya dicela. Itu hukumnya harus dan berlaku bagi siapa saja. Saya paling ga bisa terima itu.

Jadi, kasus akhir-akhir ini adalah, teman saya memposting foto aib saya di Facebook (malu-maluin banget lho! Sungguh!). Dia jelas-jelas mengupload, mempublish, dan men-tag foto itu ke saya. Pokoknya dia dengan sengaja memberi tahu saya dan teman-teman saya di Facebook mengenai foto itu. Saya langsung mencak-mencak di komen, menuntut dia untuk menghapus foto itu. Marah sih iya, tapi komen saya masih disertai smiley dan pembicaraannya ga serius amat (Ini adalah bagian di mana orang-orang bakal merespon: "Bodooh! Mestinya lo marah Chaa!!! Grrr.". Saya memang pengen foto itu dihapus, tapi saya ga mau cari musuh juga. Untung teman saya yang juga pernah jadi korban membela dan ikut menuntut dia mencabut foto itu.

Tapi pada dasarnya, teman saya itu memang kerjanya mencari korban untuk diambil foto aibnya dan dipublish di Facebook. Korban dia ternyata sudah banyak, dan ga peduli gimanapun saya dan teman saya meminta dia mencabut foto itu, dia tetap tidak melakukannya. Di kampus, saya bertemu dengan teman yang memposting foto dan teman yang jadi korban juga. Saya diam sejenak sebelum teman saya yang jadi korban juga itu bertanya. “Kamu marah sama dia ya?” Saat itu teman yang posting foto ada disitu. Di wajahnya ga ada sikap bersalah sama sekali. Dia langsung spontan tertawa. Saya bilang “Hah? Marah? Kenapa? Oh gara-gara foto? Haha, engga lah. Makanya hapus!!!!” Saya bilang ke teman saya. Tapi teman saya rupanya ga mendengarkan.

Kasus lain yang baru-baru ini terjadi lumayan serupa. Jadi saya hari itu mengupload semua foto-foto dari kamera ke Facebook. Saya memang biasa mensortir foto-foto yang diupload ke Facebook itu setelah proses upload selesai supaya lebih hemat waktu. Proses sortir biasanya mencakup penghapusan foto-foto yang jelek, ga diinginkan, dan tag foto ke teman. Tapi belum selesai saya sortir foto-fotonya, teman saya ada yang komen ke foto teman saya yang lain yang baru saya upload. Teman saya yang difoto itu memang pernah bilang supaya tidak mengupload, tapi saya pikir saya baru mau hapus nanti setelah selesai upload. Tapi teman saya sudah keburu mengkomen, malah memborbardir foto itu dengan banyak komen dari dia semua. Saya tidak menyalahkan teman saya yang mengkomentari foto itu pertama kali, karena ujung-ujungnya saya ikutan juga.

Saya langsung bilang kalau saya tadinya mau hapus foto itu. Saya ga ngira foto itu bakal dilirik duluan oleh teman saya yang lain dan dikomen. Tapi setelah dipikir-pikir, foto teman saya itu cantik. Jauh dari yang namanya foto aib seperti yang diupload teman saya. Kalau saya jadi dia, malah saya akan sangat berterima kasih sudah diupload. Tetapi balik ke prinsip dasar tentang manusia: sifat manusia itu beda-beda. Persepsi mereka beda-beda (aduh saya ngomong sudah kayak psikolog ya). Seperti ada monyet kalau dikasih pisang akan menerima, tapi kemungkinan (walaupun tidak mungkin ya rasanya) ada juga monyet yang membuang pisang itu.

Mungkin teman saya itu malu foto cantiknya dipajang di Facebook, mungkin dia merasa ga pede dengan foto itu. Sikap ini wajar kok dan banyak ditemukan di orang-orang lain, ga peduli betapa cantiknya foto yang diupload dan banyak pujian yang diberikan. Maka itu ujung-ujungnya teman marah ke saya. Tuduhannya, kenapa saya ga hapus foto itu setelah teman saya yang lain itu komentar? Alasannya, setelah saya pikir-pikir sejenak, saya ga lihat point kenapa saya harus menghapus foto itu. Saya sempat terbawa komentar pujian teman lain saya. Oke ini salah ya, saya ini gampang banget terpengaruh. Memang saya salah, dia sempat bilang sama saya untuk tidak mengupload foto itu. Itu sudah berupa janji. Ya, memang mungkin bisa dibilang saya tidak menepati janji. Saya pikir, foto itu cantik kok. Dipuji-puji malah. Saya ga upload untuk alasan mengejek, menghina, dan mempermalukan (seperti yang teman saya lakukan kepada saya).

Ga peduli saya bilang berkali-kali kalau saya ga niat mengupload foto itu, malah niatnya mau dihapus setelah diupload, dia ga mau dengar. Malah anehnya dia ngebawa-bawa hal kecil di masa lalu yang membuat kesan kalau saya salah, seperti saya ga angkat telepon. Padahal waktu itu saya sedang sibuk.

Yang bikin saya sempat marah, kemarin sebenarnya saya sudah minta maaf karena ga sempat menghapus setelah diupload dan dia malah menyalahkan teman saya yang mengkomen fotonya karena membuat fotonya dia jadi dilirik orang-orang lain. Saya juga kurang sigap untuk tidak langsung menghapus foto itu. Mungkin ungkapan maaf saya kurang didengar atau kurang serius. Tapi pasalnya saya paling ga suka orang yang labil dan ga konsisten! Kemarin ngomong A hari ini jadi B. Saya juga ga suka orang yang suka ngebahas-bahas kesalahan di masa lalu yang sudah berakhir. Saya tidak tahu tentang itu. Pernah suatu kali saya mati-matian ingin pergi ke konser tapi orang tua melarang. Pasca konser itu saya terus-terusan mengungkit-ngungkit. Papa saya langsung kesal. Barulah saya sadar, coba saya di posisi papa saya, pasti saya juga merasa kesal.

Pokoknya saya kesal kalau orang mengungkit-ngungkit hal yang kecil dan sudah berlalu! Jadi teman saya seolah mengajak saya perang juga gara-gara bikin saya marah juga. Padahal niat saya, saya mau baikan sama dia. Tapi sekali lagi kalau dia minta maaf dan sadar diri untuk menyudahi perang kita, saya dengan senang hati menerima dia. Saya ini pemaaf. Mudah memaafkan, apa mungkin terlalu mudah memaafkan orang? Seperti kata teman-teman saya? Saya juga perlu meminta maaf dengan segenap hati karena saya sudah berpikir subjektif terhadap perasaan saya selama ini. Saya kurang memahami perasaannya.

Kita sudah berdamai malah. Lewat Facebook pula. Malam itu saya pikir, oke, case closed. Nothing more to argue about. Dia ga menyalahkan saya mulanya. Tapi tiba-tiba hari ini dia membahas lagi, memojokkan saya. Malah kemarin saya sempat telepon-teleponan sama dia, masih ketawa-ketiwi. Tiba-tiba seperti ada yang meninju hati teman saya. Separah itukah bagi dia? Pikir saya mungkin dia lagi PMS? Dia jelas bukan tipe orang yang gampang marah menurut saya. Pasti ada yang salah kalau tiba-tiba marah. Apa selama ini saya ga sengaja dan ga sadar sudah menyinggung dia?

Yang jelas, di mata seorang Scorpio seperti saya, kejadian upload foto itu sama sekali ga ada menyinggungnya. Seperti yang saya bilang, saya malah akan senang sudah diupload. Mungkin teman saya yang marah itu bakal bilang kalau saya narsis sekali (ya mungkin ia takut dikatain narsis). Coba kalau teman saya yang marah ini jadi korban foto aib oleh teman saya yang tadi. Foto aib lho! Lebih memalukan dan jauh lebih memalukan daripada foto cantiknya!

Tapi balik lagi ke orangnya masing-masing. Jelas persepsi saya dan teman saya itu berbeda. Saya jauh dari tersinggung dalam kasus ini. Tapi teman saya mungkin beda. Mungkin orang lain pun akan bertindak sama seperti teman saya. Mungkin memang sayanya yang berbeda.

Papa saya pernah bilang kalau orang sensitif itu memang ingin membuat kesan seolah kita ini salah. Saya sudah berhadapan dengan banyak orang sensitif. Mama saya contohnya. Jadi secara ga langsung, rasa sensitif itu sudah jadi part of my life. Saya ga berpikir orang sensitif itu menyebalkan. Kadang mereka memang menyebalkan seperti gampang moody atau sedang PMS, tapi most of it, mereka ga menyebalkan. Orang sensitif ingin kita bilang minta maaf walaupun kita sebenarnya ga bersalah (bagi dia kita bersalah) Saya jadi merasa seperti badak yang hidup dikelilingi kupu-kupu rapuh. Tapi si badak itu pengen jadi kupu-kupu. Saya perlu belajar lebih dalam untuk memahami perasaan orang sensitif.

Saya mau belajar jadi sensitif. Pokoknya mau. Saya harus belajar jadi sensitif. Barusan saya mencoba bersikap serius ke teman saya yang mengupload foto aib saya. Saya bilang ke dia “Beruntung lho kamu melakukan ini ke saya, coba ke orang lain. Saya ini pemaaf. Pasti kamu sudah dimusuhi. Sekarang serius dong, cabut foto ini.” Lihat saja nanti reaksinya. (update: baru saja akhirnya teman saya itu menghapus foto itu. Saya adalah korban pertamanya yang foto aibnya dicabut. Hore!)

Aduh orang di dunia ini memang beda-beda ya. Sifat dan persepsinya beda. Mungkin ini yang menyebabkan kenapa saya sempat mau jadi psikolog. Saya tertarik mempelajari sifat-sifat manusia dan cara pikir manusia. Kenapa manusia ini mau menerima sesuatu sementara manusia yang lain malah menolak sesuatu yang sama?

Tetap saja yang jadi pertanyaan paling besar selama ini adalah:
Kenapa saya ini ga bisa benci sama orang ya?

Sebenci-bencinya saya sama orang, saya ga pernah mau menyakiti orang itu. Ada guru musik yang saya benci setengah mati di sekolah. Saya sebaaaal sekali pokoknya. Sombong, angkuh, dan sok tahu. Tapi saya ga pernah secara langsung menyinggung dia dengan frontal. Saya baik-baikin dia walaupun tangan saya kadang gatal ingin meninju mukanya.

Saya harus belajar jadi sensitif. Saya bukan robot. Orang tua saya juga bukan robot. Orang tua saya pengen saya jadi sensitif. Kata mereka "Nanti kalau kamu punya pacar dan dia main cewek, masa kamu ga marah?" Saya harus belajar merasa tersinggung, sakit hati, tersentuh yang benar-benar. Saya harus ekspresif. Saya harus belajar memahami perasaan manusia lebih dekat. Saya harus emosional. Saya ga boleh kelamaan memendam perasaan. Saya harus berhati-hati dalam berkata-kata dan berbuat.

Saya sudah cukup santai, ga dihantui dengan perasaan sakit hati. Saya harus bisa tegas. Saya sudah cukup bersikap seperti badak. Saya harus mencoba menangis kalau saya benar-benar sakit hati, seperti cewek pada umumnya. Saya harus mencoba untuk berpikir bahwa tidak semua manusia memiliki pola pikir dan persepsi yang sama seperti saya.

Saya boleh menerima suatu perlakuan yang menurut saya tidak menyinggung. Tapi itu tidak berarti saya bisa melakukan yang sama kepada orang lain. Orang lain belum tentu sanggup menerima perlakuan yang sama. Saya harus berubah dari badak menjadi mahkluk yang lebih rentan. Apa mungkin saya ini selama ini memendam perasaan saya? Saya terlalu ketat menjaga harga diri saya? Semua ini kembali bahwa dalam setiap perbuatan, niat saya selalu baik. Mungkin along the way, niat itu gagal terealisasikan.

Pokoknya saya harus jadi sensitif, atau seengganya membuka hati saya pada perasaan ini.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin